Rmah Tradisional Suku Sasak di Desa Sade Pujut Lombok Tengah
Rumah bale adalah rumah tempat tinggal keluarga ,selain rumah bale ada juga rumah lumbung (dikenal dengan sebutan Berugak Alang) yang digunakan untuk menyimpan hasil panen padi. Menurut tradisi lokal di Dusun Sade, hanya wanita yang bisa memasuki Berugak Alang bagian atas (tempat penyimpanan padi) karena merekalah yang paling mengerti urusan dapur. Berugak-Alang mengajarkan warga Suku Sasak Sade untuk berhemat, stok makanan biasanya disimpan dan dipakai untuk keperluan yang bersifat mendadak, seperti: gagal panen atau perayaan-perayaan penting (pernikahan dan acara adat).
Berugak Alang biasanya didirikan di depan rumah karena bagian bawahnya juga sering digunakan untuk menerima tamu atau sekedar kumpul keluarga.Selain Rumah Bale,Berugak Alang,Suku Sasak Sade memiliki Dapur sederhana yang berisi peralatan dapur tradisional,yaitu tungku tanah untuk memasak,para -para atau sempare untuk menaruh alat perlengkapan dapur,dan bumbu bumbu masak.
Bahan-bahan yang digunakan sebagai lantai rumah merupakan campuran dari tanah, getah kayu banjar, dan abu dari hasil jerami yang dibakar.
Untuk membuatnya semakin rekat dan tidak lembab pada saat musim dingin serta tidak kering pada saat musim panas, masyarakat Suku Sasak Sade rajin mengolesi lantai rumah mereka dengan kotoran kerbau. Meskipun sering dipakai untuk “mengepel”, ternyata kotoran kerbau tidak meninggalkan bau yang tidak sedap.
Sabtu, 24 Oktober 2015
Selasa, 20 Oktober 2015
Busana Adat Sasak Untuk Pria
SEKILAS TENTANG MAKNA BUSANA ADAT SASAK UNTUK PRIA
1-Sapuq/Sapuk (batik, pelung, songket): Sapuk merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa. Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.
2-Baju Pegon (warna gelap): Pegon merupakan busana pengaruh dari jawa merupakan adaptasi jas Eropa sebagai lambang keanggunan dan kesopanan. Modifikasi dilakukan bagian belakang pegon agak terbuka untuk memudahkan penggunaak keris. Bahan yang digunakan sebaiknya berwarna polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian.
3-Leang/dodot/tampet (kain songket): motif kain songket dengan motif subahnale, keker, bintang empet dan lain-lain, bermakna semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.
4-Kain dalam dengan wiron/cute: bahannya dari batik jawa dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga digunakan pakain tenun dengan motif tapo kemalo dan songket dengan motif serat penginang. Hindari penggunaan kain putih polos dan merah. Wiron/Cute yang ujungnya sampai dengan mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.
5-Keris: Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang jika bentuknya besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan jika agak kecil. Dalam aturan pengunaan keris sebagai lambang adat muka keris (lambe/gading) harus menghadap kedepan, jika berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna: kesatriaan-keberanian dalam mempertahankan martabat. Belakangan ini karena keris agak langka maka diperbolehkan juga menyelipkan “pemaja” (pisau kecil tajam untuk meraut).
6-Selendang Umbak (khusus untuk para pemangku adat): Umbak adalah sabuk gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak. Warna kain umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung benang digantungkan uang cina (kepeng bolong). Umbak sebagai pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat, pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
1-Sapuq/Sapuk (batik, pelung, songket): Sapuk merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa. Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.
2-Baju Pegon (warna gelap): Pegon merupakan busana pengaruh dari jawa merupakan adaptasi jas Eropa sebagai lambang keanggunan dan kesopanan. Modifikasi dilakukan bagian belakang pegon agak terbuka untuk memudahkan penggunaak keris. Bahan yang digunakan sebaiknya berwarna polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian.
3-Leang/dodot/tampet (kain songket): motif kain songket dengan motif subahnale, keker, bintang empet dan lain-lain, bermakna semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.
4-Kain dalam dengan wiron/cute: bahannya dari batik jawa dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga digunakan pakain tenun dengan motif tapo kemalo dan songket dengan motif serat penginang. Hindari penggunaan kain putih polos dan merah. Wiron/Cute yang ujungnya sampai dengan mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.
5-Keris: Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang jika bentuknya besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan jika agak kecil. Dalam aturan pengunaan keris sebagai lambang adat muka keris (lambe/gading) harus menghadap kedepan, jika berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna: kesatriaan-keberanian dalam mempertahankan martabat. Belakangan ini karena keris agak langka maka diperbolehkan juga menyelipkan “pemaja” (pisau kecil tajam untuk meraut).
6-Selendang Umbak (khusus untuk para pemangku adat): Umbak adalah sabuk gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak. Warna kain umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung benang digantungkan uang cina (kepeng bolong). Umbak sebagai pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat, pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
Rabu, 14 Oktober 2015
Poteng Jaje Tujak,Jajan Khas Lombok
Poteng Jaje Tujak,Jajan Khas Lombok
Tidak seperti di daerah-daerah lainnya yang mengkonsumsi ketupat pada saat lebaran, di Lombok, Nusa Tenggara Barat lain lagi. Mereka lebih sering menghidangkan Poteng Jaje Tujak yakni sejenis tape yang diolah menjadi makanan ringan dan disediakan saat satu minggu setelah lebaran alias pada hari raya ketupat. Tak heran jika saat bersilaturahmi mengunjugi saudara setelah lebaran, Poteng Jaje Tujak selalu ada di rumah-rumah dan menjadi hidangan wajib. Selain Poteng Jaje Tujak, ada Iwel yang juga menjadi jajanan khas masyarakat Lombok.
Hidangan Poteng Jaje Tujak ini terdiri dari 2 makanan yakni “poteng” atau “tapai” dan “jaje tujak” atau di Jawa sering disebut “tetel”. Bahan poteng menggunakan ketan putih. Untuk membuat satu loyang atau sekitar 5 piring nasi ketan kita membutuhkan 1 kg ketan yang harganya Rp. 15 ribu/kg. Ketan, daun suji sebagai pewarna dan daun pandan sebagai pewangi dikukus selama 1,5 jam. Nasi ketan yang sudah matang diangin-anginkan di nampan atau kleong (bahasa Sasak) sekitar 1 jam. Lalu dipindah ke dalam panci dan ditaburi ragi agar menjadi tapai. Ketan lantas ditutup dengan daun pisang dan selanjutnya ditaruh panci yang tertutup rapat hingga 3 hari sampai menunggu jadinya poteng. Sedangkan Jaje Tujak terbuat dari ketan putih 1 kg yang dikukus bersama parutan kepala agak muda setengah butir. Ditambahkan garam secukupnya untuk memberi rasa agar tidak hambar. Setelah 1,5 jam dianggap matang, dalam kondisi panas adonan ditumbuk di dalam lumpang sampai lembut hingga mudah dibentuk di loyang. Kemudian dipotong-potong sesuai keinginan.
Menurut kepercayaan setempat, yang membuat poteng harus dalam keadaan suci yakni tidak sedang haid. Sebab jika yang membuat sedang datang bulan bisa merusak poteng. Sebaiknya, pembuatan poteng, khususnya saat akan menaburkan bubuk tape ketan dilakukan setelah selesai salat sehingga masih dalam kondisi suci atau berwudhu.
Tidak seperti di daerah-daerah lainnya yang mengkonsumsi ketupat pada saat lebaran, di Lombok, Nusa Tenggara Barat lain lagi. Mereka lebih sering menghidangkan Poteng Jaje Tujak yakni sejenis tape yang diolah menjadi makanan ringan dan disediakan saat satu minggu setelah lebaran alias pada hari raya ketupat. Tak heran jika saat bersilaturahmi mengunjugi saudara setelah lebaran, Poteng Jaje Tujak selalu ada di rumah-rumah dan menjadi hidangan wajib. Selain Poteng Jaje Tujak, ada Iwel yang juga menjadi jajanan khas masyarakat Lombok.
Hidangan Poteng Jaje Tujak ini terdiri dari 2 makanan yakni “poteng” atau “tapai” dan “jaje tujak” atau di Jawa sering disebut “tetel”. Bahan poteng menggunakan ketan putih. Untuk membuat satu loyang atau sekitar 5 piring nasi ketan kita membutuhkan 1 kg ketan yang harganya Rp. 15 ribu/kg. Ketan, daun suji sebagai pewarna dan daun pandan sebagai pewangi dikukus selama 1,5 jam. Nasi ketan yang sudah matang diangin-anginkan di nampan atau kleong (bahasa Sasak) sekitar 1 jam. Lalu dipindah ke dalam panci dan ditaburi ragi agar menjadi tapai. Ketan lantas ditutup dengan daun pisang dan selanjutnya ditaruh panci yang tertutup rapat hingga 3 hari sampai menunggu jadinya poteng. Sedangkan Jaje Tujak terbuat dari ketan putih 1 kg yang dikukus bersama parutan kepala agak muda setengah butir. Ditambahkan garam secukupnya untuk memberi rasa agar tidak hambar. Setelah 1,5 jam dianggap matang, dalam kondisi panas adonan ditumbuk di dalam lumpang sampai lembut hingga mudah dibentuk di loyang. Kemudian dipotong-potong sesuai keinginan.
Menurut kepercayaan setempat, yang membuat poteng harus dalam keadaan suci yakni tidak sedang haid. Sebab jika yang membuat sedang datang bulan bisa merusak poteng. Sebaiknya, pembuatan poteng, khususnya saat akan menaburkan bubuk tape ketan dilakukan setelah selesai salat sehingga masih dalam kondisi suci atau berwudhu.
Selasa, 13 Oktober 2015
Cidomo adalah Alat Transportasi Tradisional Lombok
Cidomo adalah Alat Transportasi Tradisional Lombok
Selain terkenal dengan pantai-pantainya yang indah,air terjun yang menawan dan makanan khasnya yang mengguggah selera. namun ada satu lagi nih yang unik,lombok memiliki alat transportasi tradisional yang bernama cidomo yang Secara fisik kendaraan ini mirip dengan delman atau andong yang terdapat di pulau Jawa. Perbedaan utama dari delman atau andong adalah cidomo menggunakan roda mobil bekas, bukan roda kayu. Sampai saat ini, alat transportasi ini masih menjadi sarana transportasi utama.jika berwisata ke lombok,maka kita akan dapat merasakan sensasinya naik cidomo. alat transportasi tradisional khas lombok ini setiap harinya selalu ramai berlalu-lalang. tapi kenapa dinamakan cidomo? Cidomo merupakan singkatan dari cikar, dokar, dan mobil.
Di lombok sendiri hanya ada 2 jenis alat transportasi yang boleh digunakan di kawasan sentra pariwisata Gili Trawangan Kabupaten Lombok Utara (KLU) yaitu sepeda gayuh dan cidomo. namun untuk alat transportasi cidomo ini jumlahnya dibatasi dan tergabung di dalam suatu naungan koperasi yang bernama janur indah. karena jumlahnya yang dibatasi, efeknya pun membuat harga satu unit cidomo, beserta kudanya sangat mahal sekitar Rp 400 juta sampai 600 juta.
Setiap kusir cidomo diwajibkan menjadi anggota koperasi Janur Indah,karena dari keanggotaan itulah izin beroperasi didapatkan. karena jumlahnya yang sangat dibatasi yaitu hanya 32 unit saja,untuk masyarakat yang ingin menjadi kusir cidomo baru di kawasan Gili Trawangan ini sangat sulit sekali karena hanya ada satu cara yaitu dengan balik nama dengan pemilik lama. namun seiring berkembangnya wisata lombok ini sangat jarang kusir cidomo yang mau menjual cidomonya.
Di pulau Lombok satu unit cidomo dapat mengangkut 5-6 orang penumpang, tapi lain lagi kalau sudah di di Gili Trawangan, maksimal 3 orang penumpang. selain itu tarifnya lumayan mahal antara Rp 25 ribu –Rp 50 ribu per orang, tergantung juga dengan jarak yang ditempuh. tapi tidak ada salahnya ,jika berlibur ke lombok danmencoba alat transportasi yang satu ini.
Selain terkenal dengan pantai-pantainya yang indah,air terjun yang menawan dan makanan khasnya yang mengguggah selera. namun ada satu lagi nih yang unik,lombok memiliki alat transportasi tradisional yang bernama cidomo yang Secara fisik kendaraan ini mirip dengan delman atau andong yang terdapat di pulau Jawa. Perbedaan utama dari delman atau andong adalah cidomo menggunakan roda mobil bekas, bukan roda kayu. Sampai saat ini, alat transportasi ini masih menjadi sarana transportasi utama.jika berwisata ke lombok,maka kita akan dapat merasakan sensasinya naik cidomo. alat transportasi tradisional khas lombok ini setiap harinya selalu ramai berlalu-lalang. tapi kenapa dinamakan cidomo? Cidomo merupakan singkatan dari cikar, dokar, dan mobil.
Di lombok sendiri hanya ada 2 jenis alat transportasi yang boleh digunakan di kawasan sentra pariwisata Gili Trawangan Kabupaten Lombok Utara (KLU) yaitu sepeda gayuh dan cidomo. namun untuk alat transportasi cidomo ini jumlahnya dibatasi dan tergabung di dalam suatu naungan koperasi yang bernama janur indah. karena jumlahnya yang dibatasi, efeknya pun membuat harga satu unit cidomo, beserta kudanya sangat mahal sekitar Rp 400 juta sampai 600 juta.
Setiap kusir cidomo diwajibkan menjadi anggota koperasi Janur Indah,karena dari keanggotaan itulah izin beroperasi didapatkan. karena jumlahnya yang sangat dibatasi yaitu hanya 32 unit saja,untuk masyarakat yang ingin menjadi kusir cidomo baru di kawasan Gili Trawangan ini sangat sulit sekali karena hanya ada satu cara yaitu dengan balik nama dengan pemilik lama. namun seiring berkembangnya wisata lombok ini sangat jarang kusir cidomo yang mau menjual cidomonya.
Di pulau Lombok satu unit cidomo dapat mengangkut 5-6 orang penumpang, tapi lain lagi kalau sudah di di Gili Trawangan, maksimal 3 orang penumpang. selain itu tarifnya lumayan mahal antara Rp 25 ribu –Rp 50 ribu per orang, tergantung juga dengan jarak yang ditempuh. tapi tidak ada salahnya ,jika berlibur ke lombok danmencoba alat transportasi yang satu ini.
Senin, 12 Oktober 2015
Praje Sunat Suku Sasak Lombok
Praje Sunat Suku Sasak Lombok
Suku Sasak adalah suku yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Asal nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lomboq" berarti lurus atao jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Suku Sasak merupakan suku asli masyarakat pulau Lombok, pulau yang begitu kaya dengan tradisi budaya. Banyak sekali tradisi adat istiadat suku sasak yang mulai di tinggalkan penduduk sasak sendiri. Salah satunya adalah Praje. Konon acara atau ritual priaje ini sudah ada sejak enam abad yang lalu. Praje merupakan salah satu tradisi beponggoq (Ponggoq:bahasa sasak=dipikul) baik pada acara Nyongkolan maupun acara Khitanan.
Biasanya pada acara nyongkolan pengantin atau mempelai di usung diatas praje, kamudian di arak keliling sebelum sampai tujuan (rumah mempelai wanita). Bbegitu juga pada acara khitanan/sunatan. Anak laki-laki yang akan melangsungkan acara khitan akan di arak keliling sebelum melakukan ritual sunatan menggunakan Praje. Disamping itu juga dalam penggunaan praje ini biasanya diiringi dengan tabuhan musik tradisional asli suku sasak yakni Gendang Beleq.
Praje dan gendang beleq biasanya disewa dengan harga jutaan rupiah dalam satu kali pelaksanaan ritual. Gendang Beleq adalah adalah salah satu alat musik tradisional suku sasak di lombok. Gendang beleq sendiri artinya Gendang Besar karna ukurannya memang besar melebihi ukuran normalnya. Gendang Beleq awalnya diciptakan untuk mengiringi dan menghibur para prajurit menuju medan perang dan menyabut kedatangan dari medan perang.akan tetapi dengan perkembangan zaman gendang beleq digunakan untuk menyambut kedatangan tamu pada acara-acara tertentu
Suku Sasak adalah suku yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Asal nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lomboq" berarti lurus atao jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Suku Sasak merupakan suku asli masyarakat pulau Lombok, pulau yang begitu kaya dengan tradisi budaya. Banyak sekali tradisi adat istiadat suku sasak yang mulai di tinggalkan penduduk sasak sendiri. Salah satunya adalah Praje. Konon acara atau ritual priaje ini sudah ada sejak enam abad yang lalu. Praje merupakan salah satu tradisi beponggoq (Ponggoq:bahasa sasak=dipikul) baik pada acara Nyongkolan maupun acara Khitanan.
Biasanya pada acara nyongkolan pengantin atau mempelai di usung diatas praje, kamudian di arak keliling sebelum sampai tujuan (rumah mempelai wanita). Bbegitu juga pada acara khitanan/sunatan. Anak laki-laki yang akan melangsungkan acara khitan akan di arak keliling sebelum melakukan ritual sunatan menggunakan Praje. Disamping itu juga dalam penggunaan praje ini biasanya diiringi dengan tabuhan musik tradisional asli suku sasak yakni Gendang Beleq.
Praje dan gendang beleq biasanya disewa dengan harga jutaan rupiah dalam satu kali pelaksanaan ritual. Gendang Beleq adalah adalah salah satu alat musik tradisional suku sasak di lombok. Gendang beleq sendiri artinya Gendang Besar karna ukurannya memang besar melebihi ukuran normalnya. Gendang Beleq awalnya diciptakan untuk mengiringi dan menghibur para prajurit menuju medan perang dan menyabut kedatangan dari medan perang.akan tetapi dengan perkembangan zaman gendang beleq digunakan untuk menyambut kedatangan tamu pada acara-acara tertentu
Minggu, 11 Oktober 2015
Tari Oncer ,Tarian Tradisional Sasak Lombok
TARI ONCER
Tarian Tradisioanal Sasak Oncer
Kata Oncer berasal dari kata “Ngoncer” yang artinya berenang. Tari ini dinamakan demikian karena gerakan pokok tarian ini diambil dari gerakan ikan sepat yang berenang.Dalam bahasa Sasak disebut pepait ngoncer (ikan sepat berenang). Tari oncer sangat erat hubungannya dengan gamelan Gendang Beleq. Gendang Beleq dipukul sambil menari dengan gerakan yang khas. Gamelan Gendang Beleq banyak terdapat di Pulau Lombok. Gamelan Gendang Beleq pada zaman dahulu dipergunakan dalam peperangan oleh raja-raja di Lombok, untuk memberikan semangat bagi prajurit-prajuritnya da lam pertempuran. Bilamana pertempuran sudah selesai, Gendang Beleq dipukul sambil menari dan men jadi hiburan bagi para prajurit. Tarian itulah yang disebut oncer.
Tari oncer adalah ciptaan Lain Muhammad Tahir dari desa Puyung Lombok Tengah pada tahun 1960. Tarian Oncer ciptaan Lalu Muhammad Tahir ini merupakan tarian bersama yang terdiri atas tiga kelompok, yaitu enam atau delapan orang pembawa kenceng disebut penari kenceng, dua orang pembawa gendang disebut penari gendang, dan satu orang pembawa petuk disebut penari petuk. Masing-masing kelompok membawakan gerakannya sendiri-sendiri.
Tarian Tradisioanal Sasak Oncer
Kata Oncer berasal dari kata “Ngoncer” yang artinya berenang. Tari ini dinamakan demikian karena gerakan pokok tarian ini diambil dari gerakan ikan sepat yang berenang.Dalam bahasa Sasak disebut pepait ngoncer (ikan sepat berenang). Tari oncer sangat erat hubungannya dengan gamelan Gendang Beleq. Gendang Beleq dipukul sambil menari dengan gerakan yang khas. Gamelan Gendang Beleq banyak terdapat di Pulau Lombok. Gamelan Gendang Beleq pada zaman dahulu dipergunakan dalam peperangan oleh raja-raja di Lombok, untuk memberikan semangat bagi prajurit-prajuritnya da lam pertempuran. Bilamana pertempuran sudah selesai, Gendang Beleq dipukul sambil menari dan men jadi hiburan bagi para prajurit. Tarian itulah yang disebut oncer.
Tari oncer adalah ciptaan Lain Muhammad Tahir dari desa Puyung Lombok Tengah pada tahun 1960. Tarian Oncer ciptaan Lalu Muhammad Tahir ini merupakan tarian bersama yang terdiri atas tiga kelompok, yaitu enam atau delapan orang pembawa kenceng disebut penari kenceng, dua orang pembawa gendang disebut penari gendang, dan satu orang pembawa petuk disebut penari petuk. Masing-masing kelompok membawakan gerakannya sendiri-sendiri.
Sabtu, 10 Oktober 2015
Cerita Monyeh,Jero Mihran,Asal mula aspirasi Seni Cepung Lombok
Cerita Monyeh,Jero Mihran
Asal mula aspirasi Seni Cepung Lombok
Alkisah, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Indrapandita. Raja itu memiliki sembilan putri yang cantik-cantik. Putri sulungnya bernama Denda Wingi, sedangkan si bungsu bernama Ratna Ayu Wideradin. Dari kesembilan putri raja tersebut, si bungsulah yang paling cantik dan mempesona. Maka, tidak mengherankan jika si bungsu menjadi idola bagi pemuda dari berbagai negeri.
Rupanya, kecantikan Ratna Ayu Wideradin membuat iri kedelapan kakaknya, terutama si sulung, Denda Wingit. Oleh karena itu, ia mengajak adik-adiknya yang lain untuk menyingkirkan si bungsu.
“Si Bungsu harus kita singkirkan dari istana ini,” kata Denda Wingit, “Keberadaannya telah menganggu ketenteraman kita semua. Setiap pangeran yang datang, Putri Bungsu yang selalu menjadi pilihan mereka.”
“Setuju, Kakak,” sahut putri yang ketiga, “Tapi, bagaimana cara kita mengusir si Bungsu dari istana ini?”
“Tenang, adikku. Kita bilang saja kepada Ayahanda bahwa ia telah berbuat tidak senonoh dengan pemuda kampung,” usul Denda Wingit.
“Apakah Ayahanda mau mempercayai kita?” tanya putri yang lainnya.
“Tidak usah khawatir,” ujar Denda Wingit, “Kita akan membayar seorang pemuda kampung untuk mengaku di hadapan Ayahanda bahwa ia telah melakukan hal-hal yang tidak baik dengan si Bungsu.”
Akhirnya, kedelapan putri raja tersebut bersepakat untuk menghasut Ayahanda mereka. Keesokan harinya, seorang pemuda kampung yang sebenarnya telah dibayar oleh para putri itu datang menghadap raja. Pemuda itu mengaku bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh dengan Putri Ratna Ayu. Sang Raja langsung murka, dan memerintahkan agar si Bungsu segera dipanggil untuk menghadapnya. Sementara putri-putri lainnya yang juga ada di ruangan itu tampak saling memandang dan tersenyum senang.
“Cepat panggilkan Putri Bungsu ke mari!” titah sang Raja.
“Baik, Ayah,” kata putri ketujuh.
Tidak berapa lama kemudian, putri ketujuh itu kembali bersama si Bungsu.
“Dasar anak tidak tahu diri!” bentak sang Raja kepada putri bungsunya itu, “Kamu telah membuat malu kerajaan ini. Sebagai hukuman atas perbuatanmu, mulai saat ini kamu tinggal di gubuk yang ada di belakang lingkungan istana ini!”
Betapa terkejutnya si Bungsu mendengar titah itu. Ia benar-benar heran pada sang ayah yang tiba-tiba mengusirnya dari istana. Merasa tidak bersalah, ia pun berusaha melakukan pembelaan di hadapan ayahandanya.
“Apa salah Ananda? Kenapa Ayah tiba-tiba murka?” tanya si Bungsu.
“Ah, tidak usah banyak omong! Cepat keluar dari istana ini dan tinggallah di gubuk itu!” tukas sang Raja.
Sungguh malang nasib Putri Ratna Ayu. Putri Bungsu ini pun harus tinggal di gubuk bambu di halaman belakang istana. Di gubuk itu, ia hanya ditemani oleh seorang inang (pengasuh) yang bernama Rangda Sayoman. Meskipun berada dekat istana, namun tak seorang pun keluarganya yang peduli kepadanya. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di badannya. Makan pun seadanya. Oleh karena itulah, sang inang menjulukinya dengan nama Winangsia, yaitu putri yang tersia-sia.
Winangsia mengisi hari-harinya dengan melukis dan menulis syair yang indah. Bakat itu sudah ia miliki sejak masih kecil. Suatu hari, Winangsia melukis wajahnya pada sehelai kertas. Kemudian di bawah lukisan itu, ia menuliskan syair tentang nasibnya yang merana. Syair itu sangat indah dan menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Namun, ketika hendak menggulung kertas itu, tiba-tiba angin kencang datang menerbangkannya.
Kertas itu terus melayang tinggi ke angkasa menuju Pulau Jawa dan akhirnya tersangkut di pohon yang ada di dekat kolam pemandian seorang pangeran yang bernama Raden Witarasari. Ia adalah putra sulung Raja Indrasekar, seorang penguasa di sebuah kerajaan di Jawa. Raja Indrasekar ternyata bersaudara dengan Raja Indrapandita, ayahanda Putri Ratna Ayu. Raden Witarasari mempunyai seorang adik laki-laki yang sakti bernama Raden Kitabmuncar.
Keesokan paginya, Raden Witarasari hendak mandi di kolam pemandiannya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kertas yang tersangkut di atas pohon. “Kertas apa itu? Siapa yang meletakkannya di situ?” gumamnya.
Setelah mengamati kertas itu lebih dekat, Raden Witarasari melihat sebuah lukisan wanita cantik di dalamnya. Karena penasaran, cepat-cepat ia memanjat pohon lalu mengambil kertas itu. Setelah turun, ia terus memandangi lukisan itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Cantik sekali gadis ini,” kata Raden Witarasari takjub, “Tapi, siapakah dia?”
Raden Witarasari kemudian membaca syair-syair yang tertulis di atas kertas itu. Maka tahulah ia bahwa gadis itu adalah sepupunya. Begitu ia menyelami isi syair itu dari bait ke bait, tiba-tiba hatinya terenyuh dan sedih. Saking sedihnya, Raden Witarasari jatuh pingsan. Untung Raden Kitabmuncar datang menolongnya.
Setelah siuman, Raden Witarasari menunjukkan lukisan itu kepada adiknya.
“Adikku, bacalah syair-syair di kertas ini,” kata Raden Witarasari.
Raden Kitabmuncar pun tak kuasa menahan air matanya saat membaca syair-syair itu.
“Kanda, kita harus segera menolongnya,” ujar Raden Kitabmuncar.
“Benar. Tapi sebaiknya hal ini kita beritahukan Ayahanda terlebih dahulu,” kata Raden Witarasari.
Kedua pengeran itu pun segera menghadap sang Ayahanda. Raden Witarasari kemudian menceritakan isi syair itu sekaligus memohon izin pergi ke Lombok untuk menolong Winangsia.
“Baiklah. Segeralah kalian menolong saudara sepupumu yang malang itu,” kata sang Raja.
Raden Witarasari kemudian meminta bantuan adiknya yang sakti itu agar dibuatkan sebuah kapal dagang yang megah dengan barang dagangan yang indah. Dalam sekejap, tugas itu pun berhasil diselesaikan. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bertolak menuju Lombok. Raden Witarasari menyamar sebagai pedagang dengan nama Jamal Malik. Sementara Raden Kitabmuncar berpura-pura sebagai pembantunya.
Setiba di pelabuhan Lombok, Raden Kitabmuncar segera meminta bantuan syahbandar (kepala pelabuhan) untuk melapor kepada raja bahwa ada kapal yang membawa barang dagangan yang bagus-bagus dengan harga murah. Syahbandar itu pun segera menuju ke istana raja. Tak lama kemudian, syahbandar itu kembali bersama rombongan Raja Indrapandita yang datang bersama kedelapan putrinya. Jamal Malik pun menyambut mereka dengan penuh hormat.
“Silahkan, Baginda! Barangkali ada barang hamba yang cocok dengan Baginda atau putri-putri Baginda,” sambut Jamal Malik.
Raja Indrapandita pun membelikan pakaian yang indah-indah untuk kedelapan putrinya. Setelah rombongan Raja kembali ke istana, ratusan penduduk berdesak-desak naik ke kapal untuk berbelanja barang murah. Salah seorang di antaranya adalah inang Randa Sayoman.
Raden Kitabmuncar yang sakti itu tahu bahwa Rangda Sayoman adalah inangnya Winangsia. Maka, cepat-cepatlah ia memberitahu kakaknya. Raden Witarasari meminta agar dirinya diubah menjadi monyeh (monyet). Setelah itu, Raden Kitabmuncar segera menawarkan monyeh itu kepada inang Randa Sayoman. Monyet itu ajaib, bisa berbicara laksana manusia. Randa Sayoman pun tertarik membelinya untuk diberikan kepada Winangsia.
“Berapa harga monyet ini, tuan?” tanta Randa Sayoman.
“Berapa pun uang yang Anda miliki, monyet ini boleh dibawa pulang,” ujar Raden Kitabmuncar.
Inang Rangda pun menyerahkan uangnya, lalu membawa pulang monyet itu untuk diberikan kepada Winangsia. Alangkah senangnya hati Winangsia karena memiliki monyet yang pandai bicara. Monyet itu juga cerdik, bisa melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Saking sayangnya kepada monyet itu, Winangsia selalu membawanya ke mana pun pergi.
Rupanya, kedelapan saudaranya kembali iri kepada Winangsia. Maka, timbullah niat mereka ingin merebut monyet itu. Mereka kemudian menyusun siasat dengan meminta ayahandanya agar menyuruh seluruh putrinya menari bersama-sama di pendapa. Tapi, syaratnya harus berpakaian bagus dan indah. Tentu saja Putri Winangsia tidak dapat memenuhi syarat itu karena tidak memiliki pakaian yang indah seperti kakak-kakaknya.
“Hai, Putri Bungsu. Jika kamu tidak ikut menari dengan pakaian yang indah, maka kamu akan celaka dan monyet itu akan menjadi milik kami,” ancam putri sulung.
Putri bungsu yang malang itu pun hanya bisa pasrah. Malam harinya, monyet penjelmaan Raden Witarasari itu diam-diam pergi ke kapalnya. Ia mengambil pakaian tari dan segala perlengkapannya untuk Winangsia. Sebelum pergi, ia menanggalkan pakaian monyetnya di dekat gubuk Winangsia.
Malam itu, Putri Winangsia belum tidur karena sulit memejamkan matanya. Ketika berjalan keluar gubuknya, ia menemukan pakaian monyet milik Raden Witarasari. Pakaian itu langsung dibakarnya karena dikiranya sampah. Tak lama kemudian, Raden Witarasari pun kembali namun ia tidak menemukan pakaian monyetnya. Akhirnya, penyamarannya pun ketahuan oleh Winangsia. Terpaksa dengan jujur ia menceritakan perihal dirinya dan memberikan pakaian tari itu kepada Winangsia. Putri bungsu itu pun amat senang karena ternyata monyet itu adalah sepupunya yang ingin menolongnya.
Keesokan harinya, acara menari bersama di pendapa pun dimulai. Kedelapan kakaknya terlihat sudah menunggu dengan mengenakan pakain tari yang indah. Namun, betapa terkejutnya mereka saat melihat Winangsia berjalan menuju ke pendapa bersama seorang pemuda tampan. Adik bungsu mereka itu tampak begitu cantik dan anggun dengan pakaian tarinya. Saat menari, ia tampil dengan penuh percaya diri dan sungguh menghibur para penonton, terutama sang Raja.
Setelah acara selesai, Raden Witarasari pun menceritakan semua perlakuan kedelapan putrinya terhadap Putri Ratna Ayu Wideradin. Mendengar laporan itu, sang Raja berbalik menghukum mereka karena telah memfitnah si Bungsu. Sementara itu, Putri Ratna Ayu Wideradin akhirnya dilamar oleh Raden Witarasari. Setelah menikah, mereka pun berangkat ke Jawa dan hidup berbahagia di sana.
Demikian cerita Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh dari Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang bersifat iri hati seperti kedelapan putri Raja Indrapandita pada akhirnya mendapat balasan yang setimpal. Sebaliknya, orang yang teraniaya dan selalu bersabar seperti Putri Ratna Ayu Wideradin akan mendapatkan kebahagiaan
Asal mula aspirasi Seni Cepung Lombok
Alkisah, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Indrapandita. Raja itu memiliki sembilan putri yang cantik-cantik. Putri sulungnya bernama Denda Wingi, sedangkan si bungsu bernama Ratna Ayu Wideradin. Dari kesembilan putri raja tersebut, si bungsulah yang paling cantik dan mempesona. Maka, tidak mengherankan jika si bungsu menjadi idola bagi pemuda dari berbagai negeri.
Rupanya, kecantikan Ratna Ayu Wideradin membuat iri kedelapan kakaknya, terutama si sulung, Denda Wingit. Oleh karena itu, ia mengajak adik-adiknya yang lain untuk menyingkirkan si bungsu.
“Si Bungsu harus kita singkirkan dari istana ini,” kata Denda Wingit, “Keberadaannya telah menganggu ketenteraman kita semua. Setiap pangeran yang datang, Putri Bungsu yang selalu menjadi pilihan mereka.”
“Setuju, Kakak,” sahut putri yang ketiga, “Tapi, bagaimana cara kita mengusir si Bungsu dari istana ini?”
“Tenang, adikku. Kita bilang saja kepada Ayahanda bahwa ia telah berbuat tidak senonoh dengan pemuda kampung,” usul Denda Wingit.
“Apakah Ayahanda mau mempercayai kita?” tanya putri yang lainnya.
“Tidak usah khawatir,” ujar Denda Wingit, “Kita akan membayar seorang pemuda kampung untuk mengaku di hadapan Ayahanda bahwa ia telah melakukan hal-hal yang tidak baik dengan si Bungsu.”
Akhirnya, kedelapan putri raja tersebut bersepakat untuk menghasut Ayahanda mereka. Keesokan harinya, seorang pemuda kampung yang sebenarnya telah dibayar oleh para putri itu datang menghadap raja. Pemuda itu mengaku bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh dengan Putri Ratna Ayu. Sang Raja langsung murka, dan memerintahkan agar si Bungsu segera dipanggil untuk menghadapnya. Sementara putri-putri lainnya yang juga ada di ruangan itu tampak saling memandang dan tersenyum senang.
“Cepat panggilkan Putri Bungsu ke mari!” titah sang Raja.
“Baik, Ayah,” kata putri ketujuh.
Tidak berapa lama kemudian, putri ketujuh itu kembali bersama si Bungsu.
“Dasar anak tidak tahu diri!” bentak sang Raja kepada putri bungsunya itu, “Kamu telah membuat malu kerajaan ini. Sebagai hukuman atas perbuatanmu, mulai saat ini kamu tinggal di gubuk yang ada di belakang lingkungan istana ini!”
Betapa terkejutnya si Bungsu mendengar titah itu. Ia benar-benar heran pada sang ayah yang tiba-tiba mengusirnya dari istana. Merasa tidak bersalah, ia pun berusaha melakukan pembelaan di hadapan ayahandanya.
“Apa salah Ananda? Kenapa Ayah tiba-tiba murka?” tanya si Bungsu.
“Ah, tidak usah banyak omong! Cepat keluar dari istana ini dan tinggallah di gubuk itu!” tukas sang Raja.
Sungguh malang nasib Putri Ratna Ayu. Putri Bungsu ini pun harus tinggal di gubuk bambu di halaman belakang istana. Di gubuk itu, ia hanya ditemani oleh seorang inang (pengasuh) yang bernama Rangda Sayoman. Meskipun berada dekat istana, namun tak seorang pun keluarganya yang peduli kepadanya. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di badannya. Makan pun seadanya. Oleh karena itulah, sang inang menjulukinya dengan nama Winangsia, yaitu putri yang tersia-sia.
Winangsia mengisi hari-harinya dengan melukis dan menulis syair yang indah. Bakat itu sudah ia miliki sejak masih kecil. Suatu hari, Winangsia melukis wajahnya pada sehelai kertas. Kemudian di bawah lukisan itu, ia menuliskan syair tentang nasibnya yang merana. Syair itu sangat indah dan menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Namun, ketika hendak menggulung kertas itu, tiba-tiba angin kencang datang menerbangkannya.
Kertas itu terus melayang tinggi ke angkasa menuju Pulau Jawa dan akhirnya tersangkut di pohon yang ada di dekat kolam pemandian seorang pangeran yang bernama Raden Witarasari. Ia adalah putra sulung Raja Indrasekar, seorang penguasa di sebuah kerajaan di Jawa. Raja Indrasekar ternyata bersaudara dengan Raja Indrapandita, ayahanda Putri Ratna Ayu. Raden Witarasari mempunyai seorang adik laki-laki yang sakti bernama Raden Kitabmuncar.
Keesokan paginya, Raden Witarasari hendak mandi di kolam pemandiannya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kertas yang tersangkut di atas pohon. “Kertas apa itu? Siapa yang meletakkannya di situ?” gumamnya.
Setelah mengamati kertas itu lebih dekat, Raden Witarasari melihat sebuah lukisan wanita cantik di dalamnya. Karena penasaran, cepat-cepat ia memanjat pohon lalu mengambil kertas itu. Setelah turun, ia terus memandangi lukisan itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Cantik sekali gadis ini,” kata Raden Witarasari takjub, “Tapi, siapakah dia?”
Raden Witarasari kemudian membaca syair-syair yang tertulis di atas kertas itu. Maka tahulah ia bahwa gadis itu adalah sepupunya. Begitu ia menyelami isi syair itu dari bait ke bait, tiba-tiba hatinya terenyuh dan sedih. Saking sedihnya, Raden Witarasari jatuh pingsan. Untung Raden Kitabmuncar datang menolongnya.
Setelah siuman, Raden Witarasari menunjukkan lukisan itu kepada adiknya.
“Adikku, bacalah syair-syair di kertas ini,” kata Raden Witarasari.
Raden Kitabmuncar pun tak kuasa menahan air matanya saat membaca syair-syair itu.
“Kanda, kita harus segera menolongnya,” ujar Raden Kitabmuncar.
“Benar. Tapi sebaiknya hal ini kita beritahukan Ayahanda terlebih dahulu,” kata Raden Witarasari.
Kedua pengeran itu pun segera menghadap sang Ayahanda. Raden Witarasari kemudian menceritakan isi syair itu sekaligus memohon izin pergi ke Lombok untuk menolong Winangsia.
“Baiklah. Segeralah kalian menolong saudara sepupumu yang malang itu,” kata sang Raja.
Raden Witarasari kemudian meminta bantuan adiknya yang sakti itu agar dibuatkan sebuah kapal dagang yang megah dengan barang dagangan yang indah. Dalam sekejap, tugas itu pun berhasil diselesaikan. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bertolak menuju Lombok. Raden Witarasari menyamar sebagai pedagang dengan nama Jamal Malik. Sementara Raden Kitabmuncar berpura-pura sebagai pembantunya.
Setiba di pelabuhan Lombok, Raden Kitabmuncar segera meminta bantuan syahbandar (kepala pelabuhan) untuk melapor kepada raja bahwa ada kapal yang membawa barang dagangan yang bagus-bagus dengan harga murah. Syahbandar itu pun segera menuju ke istana raja. Tak lama kemudian, syahbandar itu kembali bersama rombongan Raja Indrapandita yang datang bersama kedelapan putrinya. Jamal Malik pun menyambut mereka dengan penuh hormat.
“Silahkan, Baginda! Barangkali ada barang hamba yang cocok dengan Baginda atau putri-putri Baginda,” sambut Jamal Malik.
Raja Indrapandita pun membelikan pakaian yang indah-indah untuk kedelapan putrinya. Setelah rombongan Raja kembali ke istana, ratusan penduduk berdesak-desak naik ke kapal untuk berbelanja barang murah. Salah seorang di antaranya adalah inang Randa Sayoman.
Raden Kitabmuncar yang sakti itu tahu bahwa Rangda Sayoman adalah inangnya Winangsia. Maka, cepat-cepatlah ia memberitahu kakaknya. Raden Witarasari meminta agar dirinya diubah menjadi monyeh (monyet). Setelah itu, Raden Kitabmuncar segera menawarkan monyeh itu kepada inang Randa Sayoman. Monyet itu ajaib, bisa berbicara laksana manusia. Randa Sayoman pun tertarik membelinya untuk diberikan kepada Winangsia.
“Berapa harga monyet ini, tuan?” tanta Randa Sayoman.
“Berapa pun uang yang Anda miliki, monyet ini boleh dibawa pulang,” ujar Raden Kitabmuncar.
Inang Rangda pun menyerahkan uangnya, lalu membawa pulang monyet itu untuk diberikan kepada Winangsia. Alangkah senangnya hati Winangsia karena memiliki monyet yang pandai bicara. Monyet itu juga cerdik, bisa melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Saking sayangnya kepada monyet itu, Winangsia selalu membawanya ke mana pun pergi.
Rupanya, kedelapan saudaranya kembali iri kepada Winangsia. Maka, timbullah niat mereka ingin merebut monyet itu. Mereka kemudian menyusun siasat dengan meminta ayahandanya agar menyuruh seluruh putrinya menari bersama-sama di pendapa. Tapi, syaratnya harus berpakaian bagus dan indah. Tentu saja Putri Winangsia tidak dapat memenuhi syarat itu karena tidak memiliki pakaian yang indah seperti kakak-kakaknya.
“Hai, Putri Bungsu. Jika kamu tidak ikut menari dengan pakaian yang indah, maka kamu akan celaka dan monyet itu akan menjadi milik kami,” ancam putri sulung.
Putri bungsu yang malang itu pun hanya bisa pasrah. Malam harinya, monyet penjelmaan Raden Witarasari itu diam-diam pergi ke kapalnya. Ia mengambil pakaian tari dan segala perlengkapannya untuk Winangsia. Sebelum pergi, ia menanggalkan pakaian monyetnya di dekat gubuk Winangsia.
Malam itu, Putri Winangsia belum tidur karena sulit memejamkan matanya. Ketika berjalan keluar gubuknya, ia menemukan pakaian monyet milik Raden Witarasari. Pakaian itu langsung dibakarnya karena dikiranya sampah. Tak lama kemudian, Raden Witarasari pun kembali namun ia tidak menemukan pakaian monyetnya. Akhirnya, penyamarannya pun ketahuan oleh Winangsia. Terpaksa dengan jujur ia menceritakan perihal dirinya dan memberikan pakaian tari itu kepada Winangsia. Putri bungsu itu pun amat senang karena ternyata monyet itu adalah sepupunya yang ingin menolongnya.
Keesokan harinya, acara menari bersama di pendapa pun dimulai. Kedelapan kakaknya terlihat sudah menunggu dengan mengenakan pakain tari yang indah. Namun, betapa terkejutnya mereka saat melihat Winangsia berjalan menuju ke pendapa bersama seorang pemuda tampan. Adik bungsu mereka itu tampak begitu cantik dan anggun dengan pakaian tarinya. Saat menari, ia tampil dengan penuh percaya diri dan sungguh menghibur para penonton, terutama sang Raja.
Setelah acara selesai, Raden Witarasari pun menceritakan semua perlakuan kedelapan putrinya terhadap Putri Ratna Ayu Wideradin. Mendengar laporan itu, sang Raja berbalik menghukum mereka karena telah memfitnah si Bungsu. Sementara itu, Putri Ratna Ayu Wideradin akhirnya dilamar oleh Raden Witarasari. Setelah menikah, mereka pun berangkat ke Jawa dan hidup berbahagia di sana.
Demikian cerita Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh dari Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang bersifat iri hati seperti kedelapan putri Raja Indrapandita pada akhirnya mendapat balasan yang setimpal. Sebaliknya, orang yang teraniaya dan selalu bersabar seperti Putri Ratna Ayu Wideradin akan mendapatkan kebahagiaan
Seni Cepung Lombok
Seni Cepung
Kesenian ini merupakan seni vokal tradisional daerah Lombok, alat yang digunakan sangat terbatas, hanya diiringi dua alat musik yaitu seruling dan redep. Dengan keterbatasan alat musik yang digunakan maka para pemain mengatasinya dengan cara menirukan bunyi gendang, kenceng, rincik. Para pemain selain bertugas membuat bunyi-bunyian yang menyerupai alat musik tertentu juga sebagai pembawa syair atau pantun secara bersaut- sautan.
Jumlah pemain cepung ini 6 orang yang bertugas sebagai pembaca lontar yang merupakan sumber cerita dan syair cepung itu sendiri. Pembacaan dilakukan bergantian setiap kali pergantian babak permainan ( merupakan pendahulu gending baru), dua orang sebagai pemain alat musik dan tiga orang sebagai pembawa musik vokal yang dilakukan sambil menari dengan gaya yang lucu sesuai dengan syair dan gending yang dibawakan dan ketiga pembawa musik vokal tersebut dalam keadaaan duduk.
Kesenian ini merupakan perkembangan dari “pepaosan-pepaosan” , cerita yang diambil dalam seni cepung ini khusus dari Pepaosan Cerita klasik”Monyeh”. Cerita klasik Monyeh sangat terkenal di Lombok, dikarang dalam bentuk pantun (seloka) dalam bahasa sasak oleh Jero Mihran/Mamiq Mihran pada tahun 1859. Seluruhnya terdiri dari 671 bait, dibawakan dengan tembang Sinom, Semarandana, Kumambang, Durma, Dang-dang dan Pangkur.
Kesenian ini merupakan seni vokal tradisional daerah Lombok, alat yang digunakan sangat terbatas, hanya diiringi dua alat musik yaitu seruling dan redep. Dengan keterbatasan alat musik yang digunakan maka para pemain mengatasinya dengan cara menirukan bunyi gendang, kenceng, rincik. Para pemain selain bertugas membuat bunyi-bunyian yang menyerupai alat musik tertentu juga sebagai pembawa syair atau pantun secara bersaut- sautan.
Jumlah pemain cepung ini 6 orang yang bertugas sebagai pembaca lontar yang merupakan sumber cerita dan syair cepung itu sendiri. Pembacaan dilakukan bergantian setiap kali pergantian babak permainan ( merupakan pendahulu gending baru), dua orang sebagai pemain alat musik dan tiga orang sebagai pembawa musik vokal yang dilakukan sambil menari dengan gaya yang lucu sesuai dengan syair dan gending yang dibawakan dan ketiga pembawa musik vokal tersebut dalam keadaaan duduk.
Kesenian ini merupakan perkembangan dari “pepaosan-pepaosan” , cerita yang diambil dalam seni cepung ini khusus dari Pepaosan Cerita klasik”Monyeh”. Cerita klasik Monyeh sangat terkenal di Lombok, dikarang dalam bentuk pantun (seloka) dalam bahasa sasak oleh Jero Mihran/Mamiq Mihran pada tahun 1859. Seluruhnya terdiri dari 671 bait, dibawakan dengan tembang Sinom, Semarandana, Kumambang, Durma, Dang-dang dan Pangkur.
Seni Pepaosan.Pembacaan Lontar Kuno di Lombok
Seni Pepaosan,Pembacaan Lontar Kuno di Lombok.
Kata lontar sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu rountal. Kata roun berarti daun dan tal berarti pohon Siwalan, yaitu sejenis pohon palem. Bila di Jawa disebut dengan rountal, maka di Lombok sendiri disebut dengan lontar. Pemilihan kata lontar sendiri bukan dengan sembarangan memilih kata tanpa makna. Secara filosofis, dikatakan lontar karena ada unsur melontar. Maka muncul pertanyaan, apa kaitannya antara melontar dengan naskah lontar? Jawabannya begitu sederhana, yaitu isi dari naskah tersebut ingin dilontarkan atau disampaikan kepada audiens. Lontar yang berlembar-lembar kemudian dijepit atau ditakep dengan kayu.
Makna dari proses penakepan ini, yaitu setelah isi ditangkap kemudian isi lontar yang berlembar-lembar itu dipahami, dihayati, dan disimpan dalam hati dan pikiran. Ini juga diistilahkan dengan duntal yang berarti pemasukan makna dalam diri kita. Selain itu, dalam takepan naskah lontar terdapat benang yang digunakan untuk mengikat naskah lontar sehingga menjadi sebuah takepan. Benang yang digunakan untuk mengikat takepan ini dipilih benang yang halus. Secara filosofis, benang halus ini bermakna sifat pengikat hubungan batin yang halus yang diisi oleh sifat Allah yaitu al-rahman dan al-rahim. selain itu, benang yang halus juga sebagai simbolisasi tali silaturrahim yang halus antara orang yang satu dengan lainnya.
Sejarah pasti mengenai kedatangan atau keberadaan naskah lontar di Lombok memang masih abu-abu. Berbeda sumber, maka berbeda pula versi yang didapat. Keberadaan naskah lontar di tanah Sasak tidak lepas dari pengaruh Jawa yang pernah berkuasa. Orang-orang dari Jawa datang ke Lombok bukan membawa naskah lontar yang sudah jadi dalam bentuk takepan-takepan, melainkan datang membawa tradisi menulis. Awalnya orang-orang ada yang menulis di batu, tembaga, dan lain-lain. Namun, sejak tradisi menulis di daun tar datang pada abad ke-16, orang-orang sudah memiliki media yang aman dalam menyimpan tulisannya. Tradisi tulis ini dibawa oleh Sunan Prapen dan digunakan untuk memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam.
Aksara yang digunakan dalam menulis naskah lontar disebut jejawan Sasak. Kata jejawan berarti cara Jawa atau juga jejauqan eleq Jawa yang berarti barang bawaan dari Jawa. Bahkan dari nama aksaranya saja unsur Jawa sudah nampak kelat dengan tradisi ini. Meskipun tradisi ini datang dari tanah Jawa, tapi tidak sepenuhnya sama dengan Jawa. Misalnya saja jumlah huruf atau aksara kawi di Jawa dan Lombok. Jawa memiliki aksara sejumlah dua puluh sedang Lombok dan Bali memiliki aksara sejumlah delapan belas, yang terdiri atas ha, na, ca ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya.
Menurut pandangan ilmiah, hal ini terjadi karena dalam kajian dialektologi, bahwa Bali dan Lombok dalam pelafalan aksara tidak memiliki bunyi desis, sehingga secara pragmatis tidak tereksplisit dalam penulisan kata. Kedua kata yang hilang itu adalah th dan dh.
Jenis-jenis naskah lontar yang terdapat di Lombok meliputi, pospekarme, yaitu kitab yang berisi aturan dan tata krama yang menjadi pegangan masyarakat untuk mengambil keputusan. Jatisware, yaitu kitab yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, terdapat juga naskah lontar Bangbari, Indarjaya, Rengganis, tapaladam, markum dan Labangkare. Naskah lontar dibacakan tidak dengan sembarangan, tertapi dengan cara dilagukan atau disebut dengan tembang. Jenis tembang yang biasa digunakan yaitu sinom, asmarandana, pangkur, dandang, dan kumambang. Naskah lontar biasanya berisikan tentang perwayangan, ajaran sufisme, cerita rakyat, pengobatatan, penanggalan, pengetahuan, sejarah, filsafat, silsilah, agama, bahkan doa. Jadi, tidak mengherankan bila naskah lontar disebut sebagai gudang ilmu pengetahuan.
Lontar yang bisa digunakan untuk menulis biasanya dipilih daun yang sudah tua, tetapi belum bisa langsung ditulisi. Sebelum dilakukan proses penulisan terlebih dahulu, lontar mengalami tahap pembersihan yaitu membersihkan lontar dari debu dan kotoran untuk kemudian direbus selama beberapa jam. Kemudian lontar dikeringkan dengan diangin-anginkan. Setelah kering pasti ada bagian yang kurang lurus, maka lontar tersebut dipres agar mendapat bentuk yang lurus. Barulah lontar sudah bisa ditulisi dengan menggunakan alat yang disebut pemantik atau pisau kecil. Ada juga yang menyebutnya dengan maje atau pemaje.
“Sebenarnya tidak ada ritual khusus yang harus dilakukan ketika membuka atau akan membaca naskah lontar. Tapi di kampung-kampung kalau mau membuka harus dengan ritual. Jadi sebenarnya ritual itu hanya untuk menghormati pemilik naskah tersebut.
Ada beberapa tahapan ritual pembacaan naskah lontar, yaitu sebelum, ketika membaca, dan setelah membaca. Pada prapembacaan naskah perlu persiapkan air kum-kuman, yaitu air yang diletakkan dalam wadah tembaga atau kuningan yang di dalamnya juga terdapat bunga rampe. Juga disiapkan andang-andang atau yang disebut dengan dedungki atau sok-sokan yang di dalamnya berisi: beras, kapur sirih, pinang, dan benang setukel, serta sejumlah uang. Selain itu, tempat pembacaan naskah pun tidak jarang dihias dengan lelingsir lelangit yang terbuat dari kain sisa yang diikatkan di tiang-tiang berugaq. Kemudian air kum-kuman yang sudah disiapkan di letakkan di depan pemaos atau pembaca naskah. Fungsi dari air kum-kuman yaitu sebagai penerang ketika ada huruf yang tidak terbaca oleh pemaos. Caranya dengan mengusapkan bunga yang berada di dalam air dan dioleskan ke aksara yang tidak terbaca. Setelah pembacaan naskah lontar selesai, maka penamat yang sudah disiapkan sebelumnya disajikan. Penamat biasanya berisi aneka jajanan khas Sasak misalnya renggi, ketan yang dibungkus dengan daun dan buah-buahan yang akan dimakan bersama setelah acara selesai. Mitosnya, apabila semua ritual dan sesaji tidak dipenuhi maka akan terjadi malapetaka bagi orang yang membacanya. Misalnya pembacaan naskah dalam acara pernikahan, maka pasangan tersebut bisa saja bercerai bahkan bisa berujung pada kematian.
Kata lontar sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu rountal. Kata roun berarti daun dan tal berarti pohon Siwalan, yaitu sejenis pohon palem. Bila di Jawa disebut dengan rountal, maka di Lombok sendiri disebut dengan lontar. Pemilihan kata lontar sendiri bukan dengan sembarangan memilih kata tanpa makna. Secara filosofis, dikatakan lontar karena ada unsur melontar. Maka muncul pertanyaan, apa kaitannya antara melontar dengan naskah lontar? Jawabannya begitu sederhana, yaitu isi dari naskah tersebut ingin dilontarkan atau disampaikan kepada audiens. Lontar yang berlembar-lembar kemudian dijepit atau ditakep dengan kayu.
Makna dari proses penakepan ini, yaitu setelah isi ditangkap kemudian isi lontar yang berlembar-lembar itu dipahami, dihayati, dan disimpan dalam hati dan pikiran. Ini juga diistilahkan dengan duntal yang berarti pemasukan makna dalam diri kita. Selain itu, dalam takepan naskah lontar terdapat benang yang digunakan untuk mengikat naskah lontar sehingga menjadi sebuah takepan. Benang yang digunakan untuk mengikat takepan ini dipilih benang yang halus. Secara filosofis, benang halus ini bermakna sifat pengikat hubungan batin yang halus yang diisi oleh sifat Allah yaitu al-rahman dan al-rahim. selain itu, benang yang halus juga sebagai simbolisasi tali silaturrahim yang halus antara orang yang satu dengan lainnya.
Sejarah pasti mengenai kedatangan atau keberadaan naskah lontar di Lombok memang masih abu-abu. Berbeda sumber, maka berbeda pula versi yang didapat. Keberadaan naskah lontar di tanah Sasak tidak lepas dari pengaruh Jawa yang pernah berkuasa. Orang-orang dari Jawa datang ke Lombok bukan membawa naskah lontar yang sudah jadi dalam bentuk takepan-takepan, melainkan datang membawa tradisi menulis. Awalnya orang-orang ada yang menulis di batu, tembaga, dan lain-lain. Namun, sejak tradisi menulis di daun tar datang pada abad ke-16, orang-orang sudah memiliki media yang aman dalam menyimpan tulisannya. Tradisi tulis ini dibawa oleh Sunan Prapen dan digunakan untuk memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam.
Aksara yang digunakan dalam menulis naskah lontar disebut jejawan Sasak. Kata jejawan berarti cara Jawa atau juga jejauqan eleq Jawa yang berarti barang bawaan dari Jawa. Bahkan dari nama aksaranya saja unsur Jawa sudah nampak kelat dengan tradisi ini. Meskipun tradisi ini datang dari tanah Jawa, tapi tidak sepenuhnya sama dengan Jawa. Misalnya saja jumlah huruf atau aksara kawi di Jawa dan Lombok. Jawa memiliki aksara sejumlah dua puluh sedang Lombok dan Bali memiliki aksara sejumlah delapan belas, yang terdiri atas ha, na, ca ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya.
Menurut pandangan ilmiah, hal ini terjadi karena dalam kajian dialektologi, bahwa Bali dan Lombok dalam pelafalan aksara tidak memiliki bunyi desis, sehingga secara pragmatis tidak tereksplisit dalam penulisan kata. Kedua kata yang hilang itu adalah th dan dh.
Jenis-jenis naskah lontar yang terdapat di Lombok meliputi, pospekarme, yaitu kitab yang berisi aturan dan tata krama yang menjadi pegangan masyarakat untuk mengambil keputusan. Jatisware, yaitu kitab yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, terdapat juga naskah lontar Bangbari, Indarjaya, Rengganis, tapaladam, markum dan Labangkare. Naskah lontar dibacakan tidak dengan sembarangan, tertapi dengan cara dilagukan atau disebut dengan tembang. Jenis tembang yang biasa digunakan yaitu sinom, asmarandana, pangkur, dandang, dan kumambang. Naskah lontar biasanya berisikan tentang perwayangan, ajaran sufisme, cerita rakyat, pengobatatan, penanggalan, pengetahuan, sejarah, filsafat, silsilah, agama, bahkan doa. Jadi, tidak mengherankan bila naskah lontar disebut sebagai gudang ilmu pengetahuan.
Lontar yang bisa digunakan untuk menulis biasanya dipilih daun yang sudah tua, tetapi belum bisa langsung ditulisi. Sebelum dilakukan proses penulisan terlebih dahulu, lontar mengalami tahap pembersihan yaitu membersihkan lontar dari debu dan kotoran untuk kemudian direbus selama beberapa jam. Kemudian lontar dikeringkan dengan diangin-anginkan. Setelah kering pasti ada bagian yang kurang lurus, maka lontar tersebut dipres agar mendapat bentuk yang lurus. Barulah lontar sudah bisa ditulisi dengan menggunakan alat yang disebut pemantik atau pisau kecil. Ada juga yang menyebutnya dengan maje atau pemaje.
“Sebenarnya tidak ada ritual khusus yang harus dilakukan ketika membuka atau akan membaca naskah lontar. Tapi di kampung-kampung kalau mau membuka harus dengan ritual. Jadi sebenarnya ritual itu hanya untuk menghormati pemilik naskah tersebut.
Ada beberapa tahapan ritual pembacaan naskah lontar, yaitu sebelum, ketika membaca, dan setelah membaca. Pada prapembacaan naskah perlu persiapkan air kum-kuman, yaitu air yang diletakkan dalam wadah tembaga atau kuningan yang di dalamnya juga terdapat bunga rampe. Juga disiapkan andang-andang atau yang disebut dengan dedungki atau sok-sokan yang di dalamnya berisi: beras, kapur sirih, pinang, dan benang setukel, serta sejumlah uang. Selain itu, tempat pembacaan naskah pun tidak jarang dihias dengan lelingsir lelangit yang terbuat dari kain sisa yang diikatkan di tiang-tiang berugaq. Kemudian air kum-kuman yang sudah disiapkan di letakkan di depan pemaos atau pembaca naskah. Fungsi dari air kum-kuman yaitu sebagai penerang ketika ada huruf yang tidak terbaca oleh pemaos. Caranya dengan mengusapkan bunga yang berada di dalam air dan dioleskan ke aksara yang tidak terbaca. Setelah pembacaan naskah lontar selesai, maka penamat yang sudah disiapkan sebelumnya disajikan. Penamat biasanya berisi aneka jajanan khas Sasak misalnya renggi, ketan yang dibungkus dengan daun dan buah-buahan yang akan dimakan bersama setelah acara selesai. Mitosnya, apabila semua ritual dan sesaji tidak dipenuhi maka akan terjadi malapetaka bagi orang yang membacanya. Misalnya pembacaan naskah dalam acara pernikahan, maka pasangan tersebut bisa saja bercerai bahkan bisa berujung pada kematian.
Langganan:
Postingan (Atom)